Posted on | January 26, 2009 | Pelatihan adalah sebuah aktifitas yang cukup kompleks dan harus direncanakan dengan matang sehingga dapat menjawab kebutuhan dan memberikan hasil yang tepat.
Ada 3 (tiga) tahap dalam melaksanakan sebuah pelatihan yang efektif, yaitu:
Ada 3 (tiga) tahap dalam melaksanakan sebuah pelatihan yang efektif, yaitu:
1. Pre Training
2. On Going Training
3. Post Training
2. On Going Training
3. Post Training
Elemen masing -masing tahap pelatihan adalah sebagai berikut :
1. Pre Training
a. Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
b. Menciptakan Sasaran pelatihan Yang tepat
c. Mempersiapkan Materi
b. Menciptakan Sasaran pelatihan Yang tepat
c. Mempersiapkan Materi
2. On Going Training
a. Memilih Metode
b. Teknik Komunikasi
b. Teknik Komunikasi
3. Post Training
a. Mempersiapkan dan Membuat Evaluasi pelatihan (Training Evaluation)
I. PRE TRAINING
1. Identifikasi Kebutuhan Pelatihan
Sarana Yang digunakan yaitu Training Need Analysis, yaitu sebuah teknik explorasi kebutuhan pelatihan dari sebuah organisasi.
Training need analysis sebaiknya dilakukan pada tiga tingkatan analisis:
Tingkatan Organisasi:
Analisis di tingkat ini berusaha mengetahui apa tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dan juga apakah ada cukup sumberdaya di dalam organisasi untuk memastikan bahwa perbaikan yang ingin dicapai dapat terjadi.
Contoh:
tujuan utama perusahaan di bidang kesehatan dan keselamatan kerja adalah untuk memastikan adanya lingkungan kerja yang aman dan sehat sehingga karyawan dapat bekerja dengan kondisi kesehatan fisik maupun mental yang optimal. Tujuan utama ini didasari oleh beberapa pemikiran, antara lain sebagai berikut:
- Legalitas: Untuk memenuhi tuntutan legal dan menghindarkan adanya sanksi dari pemerintah jika perusahaan tidak memenuhi standar keamanan dan kesehatan di tempat kerja.
- Efisiensi: Untuk mengurangi biaya yang terbuang karena adanya kecelakaan atau kondisi lain yang tidak sehat/ aman di tempat kerja. Tingkat kecelakaan yang tinggi juga bisa mempengaruhi keadaan SDM secara umum, misalnya mempengaruhi banyaknya karyawan yang mengundurkan diri dari perusahaan, absen, atau mengajukan protes.
Untuk memperoleh informasi seperti di atas, pihak perancang pelatihan dapat mengadakan kegiatan seperti wawancara atau Focus Group Discussion (FGD) dengan peserta dari pihak manajemen perusahaan.
Metode temu muka seperti ini akan sangat bermanfaat dalam mengumpulkan informasi mengenai sikap dan buy-in pihak manajemen, karena kesuksesan pelatihan baik dari segi pelaksanaan maupun hasilnya akan tergantung pada ada atau tidaknya dukungan dari pihak manajemen.
Pertanyaan yang dapat diajukan dalam wawancara atau FGD antara lain:
- Apakah visi dan target perusahaan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja?
- Apakah ada tugas atau tanggung jawab karyawan yang perlu diubah untuk dapat memenuhi target ini? Jika iya,
- Apakah sikap karyawan di tempat kerja dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja perlu diubah?
- Hal-hal apa sajakah yang bisa menimbulkan resiko kesehatan/ keselamatan di tempat kerja? Bagaimana cara perusahaan mengontrol resiko tersebut?Apakah ada langkah-langkah yang perlu diketahui semua karyawan dalam rangka melakukan kontrol tersebut
Tingkatan ini berkaitan dengan job requirement. Untuk mengumpulkan informasi mengenai Knowledge, Skills dan Attitudes (KSA) yang dibutuhkan oleh perusahaan, pihak perancang pelatihan dapat melakukan kegiatan antara lain: melakukan analisis terhadap job description yang sudah ada, membagikan kuesioner, dan observasi.
Mengingat tingginya biaya serta waktu yang dibutuhkan untuk wawancara atau FGD, kedua kegiatan ini hanya perlu dilakukan di tingkat operasional untuk pekerjaan yang dianggap sangat penting. Pertanyaan yang dapat diajukan di tingkatan ini antara lain:
- Apa sajakah tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan tertentu?
- Apakah ada perubahan tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaan sehubungan dengan adanya perubahaan kebijakan di tingkat organisasi dalam bidang kesehatan dan keselamatan di tempat kerja? Jika iya, perubahaan apakah itu ?
- Ketrampilan dan pengetahuan apa sajakah yang perlu dimiliki karyawan agar dapat memenuhi tugas dan tanggungjawabnya secara kompeten tanpa resiko terhadap kesehatan dan keselamatan
Tingkatan Individu
Analisis di tingkat ini akan difokuskan pada KSA yang dibutuhkan oleh individu. Karyawan membutuhkan pelatihan baik untuk prestasi pribadi dan juga untuk memenuhi tuntutan pekerjaan (yang pada akhirnya akan mempengaruhi karir seperti kenaikan gaji atau promosi). Data SDM yang sudah ada mengenai pelatihan yang telah diikuti karyawan sebelumnya dapat digabungkan dengan hasil survei untuk mengetahui kesenjangan antara target perusahaan (dalam kasus ini di bidang kesehatan dan keselamatan kerja) dengan KSA karyawan yang telah dicapai selama ini.
Pertanyaan yang bisa diajukan di tingkatan individu antara lain:
- Ketrampilan dan pengetahuan apa saja yang sudah dimiliki karyawan?
- Pelatihan apa saja yang sudah diikuti masing-masing karyawan?
- Cara pelatihan seperti apa yang paling dapat memenuhi kebutuhan individu karyawan? Pelatihan di ruang kelas, pelatihan di tempat kerja, atau metode lain? Apakah lebih baik menggunakan pelatih dari luar atau dari dalam perusahaan? Apakah pelatihan sebaiknya dilakukan di dalam atau di luar jam kerja?
- Apakah ada karyawan yang mempunyai keterbatasan bahasa sehingga pelatihan perlu dilakukan dalam bahasa tertentu ?
Langkah-Langkah Pembuatan Training Needs Analysis
1. Melakukan pengamatan pada setiap tingkatan dengan obyek pilihan
2. Melakukan diskusi pada setiap tingkatan dengan obyek pilihan
3. Menyusun daftar pertanyaan berdasarkan pengamatan dan diskusi
4. Merekam/mencatat hasil pemgamatan, diskusi, dan pertanyaan.
2. Melakukan diskusi pada setiap tingkatan dengan obyek pilihan
3. Menyusun daftar pertanyaan berdasarkan pengamatan dan diskusi
4. Merekam/mencatat hasil pemgamatan, diskusi, dan pertanyaan.
Dengan demikian identifikasi kebutuhan pelatihan dapat secara efektif dapat dipastikan .
2. Menciptakan Sasaran pelatihan Yang Tepat
Setelah identifikasi kebutuhan pelatihan dapat ditentukan, maka dengan mudah dapat ditentukan sasaran atau outcome dari pelatihan yang akan diberikan.
Penentuan sasaran ini dibuat dengan matrix atau parameter yang disusun berdasarkan hasil TNA yang telah dilakukan.
Contoh:
Dari hasil TNA, didapatkan data bahwa pelatihan yang diperlukan adalah kemampuan Supervisory. Dengan demikian sasaran pelatihan yang harus dibuat adalah pengembangan kemampuan supervisory/Leadership Skill untuk level Supervisor.
Maka untuk lebih memastikan sasaran yang tepat untuk pelatihan Leadeship Skill tersebut maka dibuatlah sebuah matrix yang akan menggambarkan batasan pelatihan tersebut.
* Nilai : 4= Baik Sekali 3= Baik 2=Cukup 1= Kurang
Dengan bantuan matrix tersebut, maka batasan pelatihan dapat ditentukan, sehingga pada langkah selanjutnya , yaitu penyusunan materi yang tepat sasar dapat disusun. Mialnya dalam aksus diatas mayteri yang diperlukan dan lebih ditekankankan adalah Communication Skill.
Bagan matrix dapat disesuaikan berdasarkan divisi terkait dan jumlah responden.
3. Mempersiapkan Materi
Berdasarkan matrix dan hasil ukur, serta sasaran/outcome pelatihan yang telah ditentukan, maka langkah berikutnya adalah memperisapkan serta menyusun materi pelatihan.
Sifat Materi Pelatihan Yang Efektif :
1. Langsung Kepada Sasaran
2. Memberikan Pengalaman Yang Tepat
2. Memberikan Pengalaman Yang Tepat
Materi tidak harus menjadi panjang dan berbelit demi penciptaan kesan kesungguhan, tetapi benar – benar merupakan bahan kajian dan latihan bagi peserta .
Selain dari sharing knowledge, materi pelatihan harus dapat menciptakan pengalaman, sehinga tetap dapat diingat, dan dengan mudah dapat diimplementasikan oleh peserta.
Selain dari sharing knowledge, materi pelatihan harus dapat menciptakan pengalaman, sehinga tetap dapat diingat, dan dengan mudah dapat diimplementasikan oleh peserta.
Formula penyusunan materi yang ideal adalah :
50% Teori
50 & Praktek
50 & Praktek
Banyak pelatihan yang lebih menitik beratkan pada praktek saja atau teori saja, kedua sisi baik teori maupun praktek mempunyai pemberdayaan yang tinggi dan penting. Kedua duanya harus seimbang.
Sumber Materi
1. kepustakaan
2. Internet
3. Pengalaman
2. Internet
3. Pengalaman
Dari ketiga sumber di atas, maka penyusunan materi tidak lagi difokuskan darimana sumber materi, tetapi mearmu materi menjadi materi yang tepat sasar dan tepat saji.
Hal ini tidak mudah, karena materi harus mampu menggapai dua aspek yaitu :
1. Aspek Wacana /Teori
Dimana teori dapat disampaikan dengan baik dan efisien, serta teori ini tidak menjadi waste.
2. Aspek Pengalaman
Dimana materi juga harus mampu menjadi sebuah pengalaman melalui group discussion role play atau , analisa kasus.
II. ON GOING TRAINING
Kesuksesan pelatihan di tahap ini ditentukan oleh dua hal :
1. Pemilihan Metode Pelatihan
2. Teknik Komunikasi Fasilitator
1. Pemilihan Metode Training
Melalui metode holistic learning yaitu metode sukses dalam pembelajaran sepanjang sejarah dunia. Mencakup diantaranya ada 17 metode :
a. Learning Conditioning
Mengkondisikan suasana sesuai materi setiap sesi. Baik kapan harus diam, kapan boleh menulis dan kapan boleh bicara. Dilakukan langsung maupun tidak langsung oleh instruktur dan kru.
b. Active Interaction
Interaksi pendengaran maupun interaksi pandangan antara trainer dengan peserta pelatihan. Interaksi pendengaran dilakukan ketika presentasi dan penjelasan. Penyampaian dengan bahasa yang mudah diterima, tidak puitis, memperhatikan intonasi, empati terhadap makna setiap kalimat serta kadang diam sesaat di tengah-tengah penjelasan. Interaksi pandangan dengan ekspresi wajah dan tersenyum.
c. Applied-Learning Method
Adalah praktek yang dilakukan baik oleh instruktur dan kru maupun oleh para peserta pelatihan.
d. Scanning and Levelling
Penyampaian disesuaikan dengan memperhatikan perbedaan intelektual di antara peserta. Memastikan bahwa semua peserta mampu memahami bahasa instruktur. Instruktur harus panda dalam memilih kalimat.
e. Discussion and Feedback
Diskusi dan komunikasi antar peserta pelatihan yang bertujuan untuk mengukur tingkat penerimaan dan pemahaman materi yang telah disampaikan.
f. Analogy and Case Study
Memberikan perumpamaan untuk efektifitas penyampaian materi yang masih asing agar mudah diterima setiap peserta.
g. Story Telling
Hati dan jiwa manusia secara fitrah suka terhadap cerita. Dengan menggunakan cerita setiap peserta mudah mengingat setiap tahapan. Cerita juga membuat proses pelatihan menjadi menarik.
h. Teaching and Motivation
Pemberian motivasi adalah cara paling baik untuk membuat peserta bersemangat untuk belajar, mengerti dan memahami setiap materi yang disampaikan.
i. Body Language
Menggunakan gerakan/isyarat dalam pelatihan untuk memperjelas, membuat lebih pasti, terang dan menarik perhatian peserta, membuat makna yang dimaksud semakin melekat di pikiran serta menghemat waktu.
j. Picture and Graph Technology
Materi yang diperkuat gambar, multimedia, klip video akan memperkuat presentasi materi dan lebih menarik sehingga antusiasme tetap tinggi.
k. Reasoning and Argumentation
Bermanfaat untuk memperjelas materi yang sulit untuk diterima peserta, memberikan perasaan tenang dan yakin, karena makna yang terkandung akan melekat di pikiran, hati dan jiwa.
l. Self Reflection
Memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk menjawab sendiri suatu pertanyaan, kata-kata bijak, petuah atau kisah berhikmah.
m. Affirmation and Repetition
Memberikan kesempatan kepada peserta untuk melakukan afirmasi diri terhadap apapun yang diinginkan dalam hidupnya dan didukung oleh seluruh peserta maupun kru dengan pengulangan yang jelas dan dari lubuk hati setiap peserta.
n. Focus and Point Basis
Fokus pembahasan, dari umum ke hal yang rinci. Setelah itu memperjelas setiap rincian yang dibuat. Dengan pembagian poin akan memudahkan peserta menyerap materi pelatihan dan menjaganya melekat di pikiran.
o. Question and Answer Method
Teknik bertanya ditujukan untuk menarik perhatian peserta dan membuat peserta selalu siap terhadap apa yang akan disampaikan instruktur.
p. Commenting on Participants Question
Setiap kalimat yang disampaikan harus menggunakan kalimat dan bahasa yang santun dan penuh motivasi.
q. Honesty
Tidak mengetahui sesuatu bukanlah aib dan kekurangan bagi instruktur maupun peserta. Instruktur harus menanamkan sikap mulia berani mengakui ketidaktahuan ke dalam jiwa setiap peserta. Juga sebaliknya, peserta harus jujur akan materi yang disampaikan sudah diterima dengan baik atau belum.
2. Teknik Komunikasi Fasilitator
Sebenarnya telah tercantum dalam point 1 diatas, bagaimana berkomunikasi tidak hanya dengan kata kata saja, melainkan menggunakan segala bentuk representasi yang dapat digunakan.
Dalam poin 2 , ini kita membahasa hal yang lebih spesifik yaitu bagaimana mengakses sebuah state learning kepada peserta training.
Dalam poin 2 , ini kita membahasa hal yang lebih spesifik yaitu bagaimana mengakses sebuah state learning kepada peserta training.
1. Ketertarikan Dasar Manusia
Merupakan sebuah dasar representasi manusia dalam menirima informasi, yaitu;
·
- Visual, atau lebih mampu menerima informasi berdasarkan hal hal yang dapat dilihat
- Auditory, atau lebih mampu menerima informasi berdasarkan hal hal yang dapat didengar
- Kinesthetic, atau lebih mampu menerima informasi berdasarkan hal-hal yang dapat dirasakan.
Contoh penggunaan dalam kalimat:
·
- “bayangkan, bila kita dapat menguasai 30% pangsa pasar” ; Visual
- ” Dengarkan dengan baik masukan dari para pelanggan kita; Auditory
- “Coba rasakan, apa yang ada dipikiran pelanggan kita saat menerima barang yang cacat produk; Kinesthetic
Representasi manusia tidak sama dan berbeda -beda, dalam sebuah pelatihan, agar dapat menjangkau setiap representasi para peserta, maka penyampaian materi harus berisi kalimat/komunikasi yang mencakup ketiga representasi tersebut. Dengan demikian setiap peserta didik akan dapat menerima informasi yang disampaikan tanpa harus repot untuk mencari tahu satu persatu apa representasi masing masing peserta.
2. Pacing- Leading
Komunikasi yang efektif dalam sebuah pelatihan, akan terjalin bila seorang fasilitator mampu menjaga sebuah state pelatihan dengan teknik pacing – leading.
Pacing adalah penyelarasan , dimana fasilitator mampu menyelarskan diri dengan kondisi peserta. Hal ini bsia dilakukan dengan memberikan dialog -dialog yang sesuai dengan posisi peserta.
Contoh:
“Seringkali saya sulit untuk mendapatkan alasan yang tepat untuk mengadakan sebuah pelatihan, karena pihak manajemen tidak mempunyai waktu untuk menyampaikan secara detail kebutuhan dan permasalahan utama organisasi.”
Pacing di sini berfungsi selain sebagai penyelaras, juga meningkatkan sensitifitas fasilitor dalam memberikan sebuah pelatihan.
Leading, adalah sebuah teknik yang dilakukan setelah mengadakan pacing/penyelarasan, dimana berfungsi untuk mengajak peserta, atau mempengaruhi pemikiran peserta sehingga mampu melaksanakan tujuan pelatihan dengan baik.
Contoh:
“Nah, kita telah mengtahui bersama -sama teknik negosiasi yang efektif, mulai saat ini, kita akan menggunakan teknik ini dengan matang .”
3. Ice Breaking
Ice Breaking adalah sebuah teknik komunikasi yang bertujuan memecahkan kebosanan atau kekeringan sebuah pengajaran. Ice breaking bsia dilakukan dengan sebuah games, humor, atau diskusi yang mengajak setiap peserta secara aktif kembali memasuki suasana pelatihan.
4. Role Play
Setiap peserta diberikan waktu lima menit, untuk membuka sebuah acara pelatihan dengan menggunakan teknik komunikasi dan metode yang telah disharingkan di atas.
III. POST TRAINING/ TRAINING EVALUATION
Perkembangan bisnis dan persaingan antar organisasi dewasa ini bergerak dengan cepat dan dinamis. Program pelatihan dan pengembangan (training and development) sebagai bagian integral dari proses pengembangan SDM menjadi penting dan strategis dalam mendukung visi dan misi organisasi. Untuk menjamin kualitas penyelenggaraan program pelatihan, maka diperlukan suatu fungsi kontrol yang dikenal dengan evaluasi.
Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan efisien.
Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang dikaitkan dengan kinerja SDM.
Djuju Sudjana (2006) menyatakan berbagai macam tujuan evaluasi, yaitu :
- Memberikan masukan untuk perencanaan program
- Memberikan masukan untuk kelanjutan, perluasan, dan penghentian program
- Memberi masukan untuk memodifikasi program
- Memperoleh informasi tentang factor pendukung dan penghambat program.
- Memberi masukan untuk motivasi dan Pembina pengelola dan pelaksana program
- Memberi masukan untuk memahami landasan keilmuan agi evaluasi program.
Beberapa model evaluasi pelatihan antara lain :
1) Model CIPP,
2) Model Empat level,
3) Model ROTI (Return On Training investment),
2) Model Empat level,
3) Model ROTI (Return On Training investment),
1). Model CIPP
Model CIPP mrupakan model untuk menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, jadi tujuan evaluasi ini adalah untuk membuat keputusan. Komponen model evaluasi ini adalah konteks, input, proses dan produk
Komponen dalam model evaluasi ini sebagai berikut:
Context (Konteks)
berfokus pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang yang melayani pembuatan keputusan dari perencanaan program yang sedang berjalan, berupa diagnostik yakni menemukan kesenjangan antara tujuan dengan dampak yang tercapai.
Input (Masukan)
berfokus pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi disan dan cost-benefit dari rancangan yang melayani pembuatan keputusan tentang perumusan tujuan-tujuan operasional.
Process (Proses)
memiliki fokus lain yaitu menyediakan informasi untuk membuat keputusan day to day decision making untuk melaksanakan program, mambuat catatan atau “record”, atau merekam pelaksanaan program dan mendeteksi atau pun meramalkan pelaksanaan program.
Product (Produk)
berfokus pada mengukur pencapain tujuan selama proses dan pada akhir program.
2). Model Empat level
Merupakan model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh Donald. L. Kirkpatrick (1959) dengan menggunakan empat level dalam mengkategorikan hasil-hasil pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil.
Keempat level dapat dirinci sebagai berikut:
Reaksi
dilakukan untuk mengukur tingkat reaksi yang didisain agar mengetahui opini dari para peserta pelatihan mengenai program pelatihan.
Pembelajaran
mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi pelatihan yang telah diberikan.
Perilaku
diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku peserta (karyawan) dalam melakukan pekerjaan.
Hasil
untuk menguji dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruha.
3). Model ROTI (Return On Training Investment )
Model ROTI yang dikembangkan oleh Jack Phillips merupakan level evaluasi terakhir untuk melihat cost-benefit setelah pelatihan dilaksanakan. Kegunaan model ini agar pihak manajemen perusahaan melihat pelatihan bukan sesuatu yang mahal dan hanya merugikan pihak keuangan, akan tetapi pelatihan merupakan suatu investasi.
Sehingga dapat dilihat dengan menggunakan hitungan yang akurat keuntungan yang dapat diperoleh setelah melaksanakan pelatihan, dan hal ini tentunya dapat memberikan gambaran lebih luas, apabila ternyata dari hasil yang diperoleh ditemukan bahwa pelatihan tersebut tidak memberikan keuntungan baik bagi peserta maupun bagi perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa model evaluasi ini merupakan tambahan dari model evaluasi Kirkpatrick yaitu adanya level ROTI (Return On Training Investment), pada level ini ingin melihat keberhasilan dari suatu program pelatihan dengan melihat dari Cost- Benefit-nya, sehingga memerlukan data yang tidak sedikit dan harus akurat untuk menunjang hasil dari evaluasi pelatihan yang valid.
Formulasi ROTI :
Total Keuntungan Dikurangi dengan Total Biaya Dibagi Total Biaya dikali 100%
Penerapan model evaluasi empat level dari Kirkpatrick dalam pelatihan dapat diuraikan dengan persyaratan yang diperlukan sebagai berikut.
Level 1: Reaksi
Evaluasi reaksi ini sama halnya dengan mengukur tingkat kepuasan peserta pelatihan. Komponen-komponen yang termasuk dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk dijadikan ukuran. Komponen-komponen tersebut berikut indikator-indikatornya adalah:
- Instruktur/ pelatih. Dalam komponen ini terdapat hal yang lebih spesifik lagi yang dapat diukur yang disebut juga dengan indikator. Indikator-indikatornya adalah kesesuaian keahlian pelatih dengan bidang materi, kemampuan komunikasi dan ketermapilan pelatih dalam mengikut sertakan peserta pelatihan untuk berpartisipasi.
- Fasilitas pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk dalam indikator-indikatornya adalah ruang kelas, pengaturan suhu di dalam ruangan dan bahan dan alat yang digunakan.
- Jadwal pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam komponen ini adalah ketepatan waktu dan kesesuaian waktu dengan peserta pelatihan, atasan para peserta dan kondisi belajar.
- Media pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya adalah kesesuaian media dengan bidang materi yang akan diajarkan yang mampu berkomunikasi dengan peserta dan menyokong instruktur/ pelatihan dalam memberikan materi pelatihan.
- Materi Pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini adalah kesesuaian materi dengan tujuan pelatihan, kesesuaian materi dengan topik pelatihan yang diselenggarakan.
- Konsumsi selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk indikator di dalamnya adalah jumlah dan kualitas dari makanan tersebut.
- Pemberian latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta diberikan soal.
- Studi kasus. Indikatornya adalah memberikan kasus kepada peserta untuk dipecahkan.
- Handouts. Dalam komponen ini indikatornya adalah berapa jumlah handouts yang diperoleh, apakah membantu atau tidak.
Level 2: Pembelajaran
Pada level evaluasi ini untuk mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi pelatihan yang telah diberikan, dan juga dapat mengetahui dampak dari program pelatihan yang diikuti para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude mengenai suatu hal yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan yang sama menurut Kirkpatrick, bahwa evaluasi pembelajaran ini untuk mengetahui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh dari materi pelatihan.
Oleh karena itu diperlukan tes guna utnuk mengetahui kesungguhan apakah para peserta megikuti dan memperhatikan materi pelatihan yang diberikan.
Dan biasanya data evaluasi diperoleh dengan membandingkan hasil dari pengukuran sebelum pelatihan atau tes awal (pre-test) dan sesudah pelatihan atau tes akhir (post-test) dari setiap peserta. Pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga mencakup semua isi materi dari pelatihan.
Level 3: Perilaku
Pada level ini, diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku peserta (karyawan) dalam melakukan pekerjaan.
Dan juga untuk mengetahui apakah pengetahuan, keahlian dan sikap yang baru sebagai dampak dari program pelatihan, benar-benar dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kinerja/ kompetensi di unit kerjanya masing-masing.
Level 4: Hasil
Hasil akhir tersebut meliputi, peningkatan hasil produksi dan kualitas, penurunan harga, peningkatan penjualan. Tujuan dari pengumpulan informasi pada level ini adalah untuk menguji dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan.
Sasaran pelaksanaan program pelatihan adalah hasil yang nyata yang akan disumbangkan kepada perusahaan sebagai pihak yang berkepentingan. Walaupun tidak memberikan hasil yang nyata bagi perusahan dalam jangka pendek, bukan berarti program pelatihan tersebut tidak berhasil.
Ada kemungkinan berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut, dan sesungguhnya hal tersebut dapat dengan segera diketahui penyebabnya, sehingga dapat pula sesegera mungkin diperbaiki. .
Proses pengukuran dan pengumpulan data evaluasi yang lebih rinci dapat dilihat dari tabel 1 berikut:
IV. Model Evaluasi Pelatihan
Secara logis dan sistematis langkah-langkah pelaksanaan evaluasi pelatihan sebagai berikut.
Langkah 1: Persiapan Evaluasi atau Penyusunan Desain Evaluasi
Pada langkah ini terdapat tiga kegiatan pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi yaitu: menentukan tujuan atau maksud evaluasi, merumuskan infromasi yang akan dicari atau memfokuskan evaluasi dan menentukan cara pengumpulan data.
Rinciannya sebagai berikut:
a. Menentukan Tujuan / Maksud Evaluasi
Beberapa kriteria yang digunakan dalam merumuskan tujuan evaluasi adalah:
1) kejelasan,
2) keterukuran,
3) kegunaan dan kemanfaatan,
4) relevansi dan kesesuaian atau compatibility.
2) keterukuran,
3) kegunaan dan kemanfaatan,
4) relevansi dan kesesuaian atau compatibility.
Jadi tujuan evaluasi harus jelas, terukur, berguna, relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengembangan program diklat.
b. Merumuskan Informasi atau Memfokuskan Evaluasi: Merumuskan Pertanyaan Evaluasi dan Menentukan Jenis Informasi yang akan Dicari
Dalam merumuskan pertnayaan evaluasi harus berdasarkan kepada tujuan evaluasi. Terdapat beberapa metode dalam merumuskan pertanyaan evaluasi yaitu:
1. Menganalisis objek
2. Menggunakan kerAngka teoritis
3. Memanfaatkan keahlian dan pengalaman dari luar
4. Berinteraksi dengan sponsor atau audien kunci
5. Mendefinisikan Tujuan Evaluasi
6. Membuat pertanyaan tambahan atau bonus
2. Menggunakan kerAngka teoritis
3. Memanfaatkan keahlian dan pengalaman dari luar
4. Berinteraksi dengan sponsor atau audien kunci
5. Mendefinisikan Tujuan Evaluasi
6. Membuat pertanyaan tambahan atau bonus
c. Menentukan Cara Pengumpulan Data
Pada langkah ini ditentukan metode evaluasi yang ditempuh, misalnya survei atau yang lain, ditentukan pula pendekatan dalam pengumpulan data. Terdapat beberapa prosedur pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif, yaitu :
• observasi,
• tes,
• survei atau survei dengan kuisioner.
• tes,
• survei atau survei dengan kuisioner.
Langkah 2: Mengembangkan Instrumen
Setelah metode pengumpulan data ditentukan, selanjutnya dutentukan pula bentuk unstrumen yang akan digunakan serta lepada siapa instrumen tersebut ditujukan (respondennya). Kemudian, segera dapat dikembangkan butir-butir instrumen.
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh instrumen evaluasi sebagai berikut:
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh instrumen evaluasi sebagai berikut:
a. Validitas
Validitas adalah keabsahan instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur.
b. Reliabilitas
Reliabilitas adalah ketetapan hasil yang diperoleh, misalnya bila melakukan pengukuran dengan orang yang sama dalam waktu yang berlainan atau orang yang lain dalam waktu yang sama.
c. Objektivitas
Tujuan dari objektifitas ini adalah supaya penerjemahan hasil pengukurasn dalam bilangan atau pemberian skor tidak terpengaruh oleh siapa yang melakukan.
d. Standarisasi
Instrumen evaluasi harus distandarisasi, karena memiliki karakteristik umum seperti item tersusun secara sistematis dan terstuktur, kemudian petunjuk kuhusus pengisian dan pengolahan diberikan dengan jelas, dan disertai pula oleh penunjuk tentang bagaimana kerahasiaan informasi dijaga.
e. Relevansi
Seberapa jauh dipatuhinya ketentuan-ketentuan atau kriteria yang telah ditetapkan untuk memilih bebrbagai pertanyaan agar sesuai dengan maksud instrumen.
f. Mudah digunakan
Instrumen tersebut hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga mudah digunakan.
Langkah 3: Mengumpulkan dan Menganalisis Data serta menafsirkannya
Pada langkah ini sudah mulai untuk terjun ke lapangan mengimplementasikan disain yang telah dibuat, mulai dari mengumpulkan dan menganalisis data, menginterpretasikan, dan menyajikannya dalam bentuk yang mudah dipahami dan komunikatif.
a. Mengumpulkan Data
Dalam melakukan pengumpulan data ini dilakukan dengan berbeda-beda pada tiap masing-masing level. Pada level reaksi data yangg dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survey melalui kuisioner. Kemudian pada level pembelajaran data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dengan menggunakan metode survey berupa tes.
Selanjutnya pada level tingkah laku, data yang dikumpulkan melalui observasi atau dapat juga dengan rencana aktifitas (Action Plan) yaitu rencana tahapan tindakan yang akan dilakukan oleh peserta pelatihan dalam mengimplementasikan hasil pelatihan yang telah diikuti, dalam hal ini para peserta harus mempunyai sautu sasaran peningkatan kinerja/kompetensi yang bersangkutan dalam unit kerja masing-masing yang kemudian diukur dengan mengunakan patokan kinerja/kompetensi yang bersangkutan. Kemudian yang terakhir, yaitu pada level keempat level hasil atau dampak, pada data yang dikumpulkan dapat melalui atasan, peserta pelatihan, bawahan atau rekan kerja (client).
Metode pengumpulan data dalam evaluasi pelatihan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
b. Menganalisis Data dan Menafsirkannya
Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, maka langkah berikutnya adalah dianalisis. Dalam menganalisa data dan menafsirkannya harus berdasarkan hasil data yang telah berhasil didiapatkan.
Langkah 4: Menyusun Laporan
Melaporkan merupakan langkah terakhir kegiatan evaluasi pelatihan. Laporan disusun dengan kesepakatan yang telah disepakati. Langkah terakhir evaluasi ini erat kaitannya dengan tujuan diadakannya evaluasi.
Langkah-langkah tersebut dapat dengan digunakan untuk menjawab sejauh mana evaluasi pelatihan yang akan dilakukan dan bagaimana pelaksanaan proses pelatihan dari awal hingga akhir sehingga memberikan hasil untuk improvisasi pada pelatihan-pelatihan selanjutnya